Adasekitar 2,600 perkataan dalam Bahasa Arab diadaptasikan ke Bahasa Melayu, dua daripadanya ialah perkataan fikir (fikr) dan zikir (zikr). Pada mulanya saya ingin menamakan tajuk tulisan ini hanya, “antara fikir dan zikir” tetapi merubahnya kepada, “antara berfikir dan berzikir”, ini disebabkan terlalu luas makna fikir sehingga mencapai duapuluh (20) takrifan.
Padahaldalam ay at lain dengan tulisan yang s ama dibaca alif-lâm-mîm seperti yang terdapat dalam awal QS. al-Baqarah. Oleh karena itu, menurut Jamâl, al- Qur‟an pertama kali semestinya
PercakapanBahasa Arab: Perkenalan (Ta'aruf) Lengkap. Di bawah ini adalah percakapan antara Ahmad dan Holil. Dimana keduanya bertemu dan saling berkenalan. Selain itu, kami sajikan pula percakapan antara Khaulah dan Hodijah sebagai pembanding percakapan antara perempuan dan laki-laki. Yang membedakan antara perempuan dan laki-laki adalah
Islamharus hancur yaitu dengan campuran makanan 90% makanan orang kafir atau kristiani atau yahudi campuran makananya harus bercampur dengan MINYAK BABI DAN SUMSUM BABI DAN SETENGAHNYA RACUN. Para ibu dan bapak orang Kristen kaya karena gajinya besar. Dan mereka 80% mempunyai perusahaan makanan. Dan makanan itu tercampur
Diakemudian membatasi dirinya pada teologi yang paling orthodox, sehingga orang tidak menemukan apapun dalam tulisan-tulisannya, sebagaimana dalam tulisan-tulisan filasuffilasuf lainnya, sesuatu yang disembunyikan yang dijelaskan setelah kematian mereka. Agama & Hegemoni Negara 59 Kadangkala mereka menggunakan cara-cara yang paling keras.
AfalaTatafak Karun is on Facebook. Join Facebook to connect with Afala Tatafak Karun and others you may know. Facebook gives people the power
AllahTa'ala berfirman, "Sungguh, Kami turunkan al-Qur,an dengan (berbahasa) Arab, agar kalian berpikir."(QS.Yusuf.2). Banyak ayat-ayat senada lainnya yang diakhiri dengan kalimat afala ta'qilun, afala tatafakkarun, afala ta'lamun, atau Iafala yafqahun." Selain itu, al-Qur,an menganggap orang yang tidak menggunakan akalnya sebagai binatang
APACitation Muhammad Bin Ishaq Bin Mandah, Abi Abdillah.Kitabut Tauhid .2007
AfalaTatafakkarun Jumat, 04 Mei 2012 Hidup Sederhana, Hidup Zuhud Alangkah indah hidup yang berselimut kezuhudan, kesederhanaan dan kekayaan hati. Dengan ketiganya, tak ada rasa was-was yang disebakan harta atau kesenangan dunia melekat dalam diri kita. Imam Al-Ghazali menyebutkan 3 tanda zuhud, yaitu : 1.
Misalnyakutipan ayat yang berbunyi, afala tatafakkarun (apakah kamu tidak berpikir?), afala ta’qilun (apakah kamu tidak berakal?), afala yatadabbarun (apakah mereka tidak berdabbur?), afala tubsirun (apakah kamu tidak melihat?) dan afala tazakkarun (apakah kamu tidak mengambil pelajaran?)
9yBNKhP. - Arti Afala Taqilun, Afala Tatafakkarun, Ada 13 Ayat Disebutkan di Dalam Alquran ini Maknanya Kalimat Afala Ta'qilun memiliki arti Apakah kamu tidak menggunakan akalmu ? atau Tidakkah kamu menggunakan akalmu? Atau Tidakkah kamu mengerti? Afala Tatafakkarun memiliki arti Apakah kamu tidak berpikir? atau Tidakkah kamu berpikir? Dua kalimat tersebut cukup banyak terdapat di dalam Alquran. Ada 13 ayat Quran yang mengandung pertanyaan Afala ta'qilun yang bersumber dari Allah SWT. Alquran adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril untuk dipedomani oleh umat manusia. Selain dalam bentuk kalimat-kalimat pernyataan, Alquran juga memuat kalimat-kalimat pertanyaan yang bersifat introspektif untuk menyadarkan manusia, menggunakan akal. Di antara kalimat pertanyaan introspektif tersebut menggunakan banyak redaksi seperti 1. Afala Ta’qilun? Tidakkah kamu menggunakan akalmu?2. Afala Tadzakkarun? Tidakkah kamu mengambil pelajaran?3. Afala Tubsirun? Tidakkah kamu melihat?4. Afala Tasma'un? Tidakkah kamu mendengarkan dan kalimat-kalimat lainnya. Semua kalimat pertanyaan ini mengajak manusia untuk melakukan muhasabah atau perenungan atas apa yang telah ditegaskan oleh Allah SWT. Di antaranya seperti ayat Surat Al-Baqarah 44 yang mengajak manusia untuk menyuruh orang lain melakukan kebaikan namun dirinya malah yang tidak melakukannya. Ayat tersebut kemudian diikuti dengan pertanyaan “Afala Ta’qilun?” Tidakkah kamu mengerti?. Ayat ini menjadi pengingat dan perintah bagi manusia untuk konsisten dalam perkataan dan perbuatan. Berikut 13 ayat Alquran yang di dalamnya mengandung kalimat “Afala Ta’qilun? Tidakkah kamu mengerti?, dikutip dari 1. Surat Al-Baqarah 44 اَتَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَاَنْتُمْ تَتْلُوْنَ الْكِتٰبَ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ artinyaMengapa kamu menyuruh orang lain untuk mengerjakan kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca suci Taurat? Tidakkah kamu berfikir/menggunakan akalmu?
Islam obviously encourages its adherents to continuously think about their inner selves and all God’s creation in the universe as well. It is emphasized by Qur’anic verses which frequently mention “Afalaa Tatafakkarun” don’t you think?, “Afala Ta’qilun”, don’t you use your wits?, “Wa fi Anfusikum, Afala Tubshirun”, and in yourselves, don’t you see? .The Qur’an says and the Prophet is also asked to remind, particularly, the Arabic people and generally to all humankind as bellow;Then do they not look at the camels, how they are created? And at the sky, how it is raised? And at the mountains, how they are erected? And at the earth – how it is spread out? Al-Ghasyiyah [88] 17-20. In other verses, Allah also confirms and rebukes people frequently reciting or memorizing Qur’an but do not learn or understand its messages Then do they not reflect upon the Qur’an, or are there locks upon [their] hearts? Muhammad [47] 24. In fact, it is interesting to see the terms used in Quran to deliver the command to think. The use of prohibition term “do not” according to me is a slate within Qur’anic criticism. The term explicitly declares that Allah is insinuating those who are unwilling to think, brood over and pay attention to life. In Arabic literary, the way He says is called “Istifham Inkari” in which as if Allah saying “You all don’t think. Then, think about it!” Unfortunately, those verses above were no longer receive the earnest attention of most Muslims in present or even since long periods. It seems to be ignored and Muslim scholars were ceased for centuries. It is even worse seeing the current circumstance of Muslims in which there is a new perspective on religion among Muslims. It shows that they tend to be anti-intellectual dialectic as well as having a negative view on using rational-logic in understanding religion. According to this group, the sacred text must be understood and followed by its textual meaning with totally abandoning the rational perspective. They, instead, consider a creativity and innovation within religious practices as a misleading or popularly called “bid’ah” heresy. They even totally reject the different others. This group merely consider that their opinion is the only truth while others’ are defiant or infidels. In addition, at the extreme level, they generally also anti-everything from the West such as democracy, human right and including nation-state concept. The rejection is not merely against the West’s notion but, for some instances, also against the products of technology. It is like a paradox considering that in their daily life, they, in fact, use the West’s products while on the other hand, they also condemn it. This phenomenon basically remind us that if we are unwilling to think about or even anti-intellectualism, consequently we continuously must be lag and left behind and being marginalized in the world history. We always remain to become consumers of other’s intellectual and technological products. Therefore if we are yearning to be a glorious nation, there is no way but returning to the critics from the Qur’an; being critically thought, productive, open, using our mind to think about God’s creation, reflecting, exploring and managing it for the well-being of mankind. Let’s think, don’t be so emotional. Let’s reflect from Qur’an, don’t just memorize
KATA akal sering kita dengar bersama dan menjadi bagian kata yang kita ucapkan sehari-hari. Tahukah Anda? kata akal berasal dalam bahasa Arab, al-aql. Kata al-aql merupakan mashdar kata aqola – ya’qilu – aqlan artinya “paham tahu/mengerti dan memikirkan menimbang“. Dalam al-Mu’jam al-Wasith p. 616-617, kata akal disebutkan dengan istilah al-Aql. Kata tersebut merupakan salah satu bentuk derivasi dari akar kata “aqala’ yang berarti “memikirkan hakekat di balik suatu kejadian” atau rabatha mengikat. Dalam tradisi Arab Jahiliyyah, kata aqala seringkali digunakan untuk menunjuk suatu “pengikat unta” aql al-ibil. Selain itu, kata aql juga memiliki makna al-karam kemuliaan, maksudnya adalah orang yang menggunakan akalnya sesuai petunjuk Allah Subhanahu Wata’ala sebagai orang yang berakal aqil. Kata ’aql disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak 49 kali. Kata kerja ta’qilun diulang sebanyak 24 kali dan kata kerja ya’qilun sebanyak 22 kali. Sedangkan, kata kerja ’aqala, na’qilu, dan ya’qilu masing-masing terdapat satu kali. Yang menarik, peng-gunaan bentuk pertanyan negatif istifham inkari’ yang bertujuan memberikan dorongan dan membangkitkan semangat seperti kata “afala ta’qilun” diulang sebanyak 13 kali dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah firman Allah kepada Bani Israel sekaligus kecaman dalam QS. 2 44; أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaktian, sedang kamu melupakan diri kewajibanmu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab Taurat? Maka tidaklah kamu berpikir? Ar-Raghib Al-Ashfahany dalam Al-Mufradat fii Gharib al-Qur’an p. 346 mengungkapkan bahwa akal merupakan daya atau kekuatan yang berfungsi untuk menerima dan mengikat dasar itulah orang yang mampu menggunakan fungsi akalnya dengan benar disebut juga dengan alim al-alim. Sebagaimana digambarkan dalam surat al-Ankabut 43 bahwa orang yang alim ialah manusia yang mampu mengambil hakekat atau manfaat dari perumpamaan yang telah disampaikan Allah Subhanahu Wata’ala. Abd Ar-Rahman Hasan dalam karyanya Al-Akhlak Al-Islamiyyah wa Asasuha p. 317 menjabarkan proses berpikir manusia. Menurutnya, berpikir berawal dari proses mengikat makna suatu pengetahuan, proses ini terdapat dalam konsep akal atau disebut juga dengan ta’aqqul yaitu proses mengikat makna suatu pengetahuan. Setelah seseorang mengikat pengetahuan maka ia dapat dikatakan sebagai orang yang mengetahui al-alim suatu objek atau tanda-tanda ayat, esensi ini terkandung dalam konsep ilmu al’-ilm. Dalam Kitab Al-Furuq Al-Lughawiyyah Baina Alfadz Al-Ilm Fi Al-Qur’an ditegaskan bahwa akal adalah daya atau kekuatan untuk menerima ilmu. Maksudnya, ilmu merupakan buah dari berpikir dengan hati. Adapun orang yang berpikir atau manusia yang telah menggunakan akalnya secara benar bisa dikatakan sebagai orang yang alim. Sebab dengan proses berpikir yang benar itulah ia akan sampai pada derajat orang yang tahu alim. Maka, bisa dikatakan bahwa orang yang berpikir dengan benar ialah orang yang alim. Lihat Al-Ankabut 43. Dengan demikian,aktifitas berpikir manusia harus bersifat terus-menerus. Dan setelah seseorang mengetahui suatu tanda ayat maka ia selanjutnya harus memikirkan hakekat yang terkandung di balik tanda tersebut, proses ini disebut dengan tafakkur. Dan ketika seseorang telah mendapatkan pelajaran dari aktifitas berpikir tersebut maka yang harus dilakukan ialah memahaminya secara benar dan mendalam, proses memahami hasil natijah proses berpikir itu disebut dengan tafaqquh. Setelah seseorang memahami suatu ilmu maka yang harus dilakukan selanjutnya ialah mengingat apa yang telah ia pahami dari hakekat tersebut. Proses seperti ini disebut dengan tadzakkur. Dan ketika manusia selalu mengingat ilmu yang telah ia pahami maka upaya terakhir yang seharusnya dilakukan oleh orang yang berpikir ialah tadabbur atau melihat kembali hakekat dari suatu peristiwa atau ilmu yang telah dipelajari sebelumnya. Jadi, konsep akal sangat sarat akan nilai-nilai ilmu pengetahuan. Dengan akal, manusia diarahkan untuk memikirkan hal-hal yang bisa dijangkau untuk menangkap esensi di balik suatu tanda. Sehingga, ketika manusia mampu memahami hakekat suatu ilmu maka akan bertambah pula keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Hal inilah yang membedakan cara pandang Islam terhadap cara pandang Barat yang lebih menitikberatkan akal pada aspek rasional semata. Dalam Oxford, Advanced Learner’s Dictionary 1995, p. 970, akal reason seringkali diartikan dengan “the power of the mind to think, understand” kemampuan otak untuk berpikir. Dalam perspektif ini terlihat ada perbedaan secara konseptual antara pengertian umum Barat dan pengertian al-Qur’an yang mendefiniskan akal sebagai kemampuan hati untuk berpikir. Pemahaman seperti inilah yang tersebar saat ini sehingga muncullah berbagai paham Barat seperti sekularisme, dualisme, humanisme, dan rasionalisme. Semua bermuara pada pemahaman terhadap pikiran yang khas cara pandang Barat yang mengabaikan kehadiran wahyu sedang Islam tidak. Akal dalam Islam mencakup dimensi intelektual, emosional, dan spiritual yang sesuai fitrah manusia dengan tanpa meninggalkan bantuan wahyu. Pemahaman di atas berimplikasi pada perkembangan ilmu, iman dan amal seseorang serta mampu menjadikannya pribadi yang beradab.*/Mohammad Ismail